ARACHNOPHOBIA
Kinanthi Yuarsyanda KH.
Mereka melemparkan Jumping Spider ke wajah Ashleen. Dia
terhuyung dan hampir
menghantam tanah. Cepat-cepat aku menahannya. Tubuhnya terasa panas.
Keringat dingin
mengucur deras dari
keningnya. Aku sangat panik. Teman-temanku juga mulai bersimpati pada
Ashleen. Mereka juga
berteriak histeris dan heboh menyalahkan para pembully sialan itu.
Untuk sekarang aku harus tenang.
Pertama-tama aku harus membawa Ashleen ke ruang UKS terlebih dahulu.
Kubaringkan tubuh lemasnya dengan lembut dan kukompres dahinya. Penjaga ruang
UKS sedang pergi, jadi dengan sabar aku menunggunya. Tidak akan kubiarkan
Ashleen sendirian.
“Kudengar Ashleen pingsan.
Bagaimana keadaannya sekarang?”, Seorang guru
perempuan masuk dengan
wajah khawatir.
“Syukurlah dia baik-baik saja.
Anak-anak sialan itu berulah lagi.”
“Mereka memang sudah kelewatan. Apa
mereka sudah dilaporkan?”
Aku hanya tersenyum padanya. Beliau
adalah orang yang sangat baik. Beliau juga yang
sering menangani Ashleen
jika phobianya kumat. Beliau juga sering membantuku, jadi aku
menyukainya.
“Sebaiknya kau kembali ke kelas.
Tenang saja, aku akan menjaga Ashleen.”
Awalnya aku ragu. Tapi benar kata
Mrs. Anne, lagi pula aku yakin Ashleen akan baikbaik saja bersama beliau.
Setelah mengucapkan terima kasih aku kembali ke kelas. Tidak ada guru pengajar. Kulihat Tom dan
Ken mendekatiku dengan wajah menyebalkan mereka.
“Hihi.. Hei, kami minta maaf soal
tadi. Hihi..”
“Ya. Hihihi.. kami menyesal.
Hihihi..”
Aku menatap tajam pada mereka.
Wajah mereka sangat memuakkan. Setelah
mengucapkan omong-kosong
itu mereka pergi ke bangku mereka sambil tertawa keras.
“Bagaimana kondisi Ashleen?” Tanya Jessie
dengan wajah lebih khawatir dari biasanya.
Kujawab dengan sejujurnya dan
mencoba untuk menenangkannya. Aku sangat berterima kasih
pada simpati yang diberikan Jessie.
***
Hari ini Ashleen tidak masuk
sekolah karena demam. Karena ulah para brengsek itu
Ashleen jadi sakit. Tak
akan kubiarkan!
Dengan perasaan marah aku
melemparkan Black
Widow Spider ke
dalam kaos Tom dan
Ken. Kedua laba-laba
kecilku pasti akan melakukan tugasnya dengan baik. Aku hanya perlu
menunggu sampai waktu
pulang tiba. Karena saat itulah waktunya beraksi.
Kringg...! Kringg...! Kringg...!
Gotcha! Waktunya bermain!
Kebiasaan Tom dan Ken adalah mereka
pasti keluar paling akhir dari kelas. Kulihat
mereka sempoyongan
memegangi kepala mereka. Hehe, kena kau!
“Ada apa dengan kalian?”, tanyaku
dengan wajah palsu.
“Entahlah, kami... merasa
pusing...”
“Benarkah? Ayo kuantar ke ruang
UKS.”
Aku sebenarnya agak kesal juga
karena harus memapah dua orang sekaligus. Tapi aku
cukup puas karena
sebentar lagi aku akan bersenang-senang. Tentu saja aku tak membawa
mereka ke ruang UKS
seperti kataku tadi. Aku membawa mereka yang kesadarannya hanya
tersisa seujung jari ke
sebuah gudang tua tak jauh dari sekolah. Di sana ada semua yang
kubutuhkan. Aku sudah
menyiapkan hal ini sejak kemarin.
Kurantai mereka berdua. Tom
kurantai ke tembok, sedangkan Ken kurantai di kursi.
Sebelum itu, kulepas
alas kaki mereka untuk mempermudah kegiatanku. Dan oh! Aku harus
memberikan mereka vaksin
dulu. Aku tidak ingin mereka mati karena racun Juliet dan Jamie,
kedua laba-labaku.
Selagi menunggu mereka berdua
bangun, aku menyiapkan perlengkapan berikutnya.
Ada berbagai perkakas,
batangan logam karat, alat praktik tua. Dan aku juga sudah
memindahkan sebagian
koleksiku untuk ikut ambil bagian. Ada Juliet dan Jamie, Wally, Tyler,
Hopper dan lain-lain.
Aku mengelus mereka satu persatu dengan sayang sembari menunggu
mereka berdua terbangun
dari tidur nyenyak mereka.
Setengah jam berlalu dan matahari
mulai condong dan tenggelam. Kesabaranku mulai
menipis, jadi aku
meletakkan kaki Tom ke dalam akuarium kecil tampat Sammy. Aku juga
meletakkan kaki Ken ke
dalam stoples Buds. Beberapa lama akhirnya kedua putri tidur itu
terbangun. Kulihat Ken
yang lebih dulu sadar. Dia terlihat terkejut sekali sambil mengerjapkan
matanya. Dia lebih
terkejut lagi meliat kaki Tom ditempeli oleh Kissing Bug milikku.
“Aaaaaaaa!!!”, jeritnya ngeri.
Perut Milly sudah menggembung
terisi darah Tom dan Buds sudah memenuhi kakinya.
“Aaaaaaa!!!”, jerit Ken lagi ketika
menyadariku sedang duduk di kursi tua tak jauh dari
mereka sambil mengelus
abdomen Creep. Mika dan kawanannya juga terbang mendengung di
sekitarku. Stoples
Wally, Tyler, Hopper, Jamie dan Juliet berserakan di sekitarku.
Aku biarkan Creep merayap ke bahuku
selagi aku mendekati Ken yang meronta.
Untung saja kaki Ken
sudah kurantai ke kaki kursi, kalau tidak stoples Buds bisa pecah dan
Buds bisa terluka.
“Ssst.. jangan berisik!”, kataku
tepat di telinga Ken. Creep merayap pelan mengitari
dahinya sebelum kembali
ke bahuku. Ken semakin liar meronta. Aku khawatir Buds akan
terganggu. Tapi
sepertinya dia sudah selesai, karena dia kembali padaku dan bertengger di
sebelah Creep.
“A...a..apa yang kau lakukan pada
kami?!”, tanyanya dengan suara gemetar. Aku
tersenyum miring padanya
dan tanpa peringatan aku menusuk bahunya dengan pisau berkarat
yang kutemukan. Buds
bergerak-gerak di bahuku dan Sammy kini berada di sisi lain bahuku
melakukan hal yang sama.
Aku mengerti keinginan mereka, jadi aku mendekatkan tanganku
pada bahu Ken.
“Jangan terlalu banyak.”, pesanku
pada Sammy dan Buds selagi mereka merayap.
“A...a..apa yang kau lakukan? Kau
gila!”, teriak Ken sambil berusaha meronta. Tapi
aku tahu itu percuma
karena pisau itu kutancapkan hingga menembus daging dan tulangnya.
Kuabaikan teriakan dan jeritannya
ketika Sammy menghisapnya dan Buds memenuhinya.
Pandanganku beralih pada
Tom yang kini terlihat pucat. Matanya bergerak-gerak pelan
sebelum akhirnya sadar
dan menyadari bahwa kakinya kini sangat pucat dan nyeri. Seakan tak
ada darah di sana. Dia
memberikan reaksi yang sama seperti Ken terhadapku. Teriakan yang
memekakkan telinga.
Jujur aku merasa sangat terganggu dengan kebisingan yang mereka
perbuat. Tapi aku juga
merasa terhibur. Aku berbalik sebentar, melambaikan tangan pada Mika
dan kawanannya. Mereka
semua mendekat dan mengerubungi Tom dan Ken. Teriakan mereka
berubah manjadi jeritan
ketika Giant
Japanesse Hornet menyengati mereka. Mengingat
kondisi mereka yang
seperti ini pasti jaringan mereka cepat larut. Jadi karena tak ingin
kesenangan ini berakhir
terlalu cepat, mau tak mau aku harus menyuntikkan vaksin penawar
ciptaanku sendiri.
Mengingat kondisi mereka juga sudah kacau.
“Aaaaaaaaaarrrghhh!!!”
Aku kembali ke kursi kayu tua.
Menyaksikan mereka sambil kembali mengelus Creep.
Jeritan dan teriakan
mereka menggema di gudang tua itu. Untung saja besok adalah akhir
pekan, jadi aku bisa
puas malam ini. Aku juga sudah mengirim pesan pada Ashleen kalau aku
tak bisa menemaninya
seperti biasa. Astaga, Ashleen pasti kesepian tanpaku.
Kulihat tubuh Tom dan
Ken sudah nyaris tak berbentuk dengan bekas sengatan di sanasini. Belum lagi
ulah Sammy dan Buds. Aku bersiul pelan memanggil Mika dan kawanannya.
Sudah cukup mereka
bersenang-senang. Yang lain juga harus kebagian. Harus adil. Mereka
menurut dan kembali
terbang di sekitar kursi kayu yang kududuki. Tom dan Ken tersengalsengal
menahan perih. Sengatan Giant Japanesse Hornet tidak bisa diremehkan. Satu
saja
menyakitkan, apalagi
jika sekawanan. Buds dan Sammy juga kembali padaku, tapi mereka
masuk ke stoples
masing-masing.
Aku kembali mendekat pada Tom dan
Ken. Aku ingin tahu kondisi mereka lebih dekat.
Kaki yang hampir tak
berbentuk, kulit pucat, darah di sana-sini, luka-luka menganga, bengkak
di mana-mana, dan... apa
itu? Kemana mata kanan Tom? Aku menoleh ke arah kumpulan
serangga di belakangku.
Menatap mereka satu-persatu. Salah satu kawanan Mika mundur
gelisah. Aku tersenyum,
menunjukkan kalau itu bukan masalah.
“Ka...kau gila!”, Jerit Tom. Aku
menolehkan kepalaku pada Tom, mendekatinya.
“Apa kau baik hah...!?”, Tanyaku
sambil melihat wajahnya dari dekat. Lalu tiba-tiba
dia meludahi wajahku.
Aku marah. Aku berbalik. Berjalan ke arah stoples-stoples kaca.
Mengambil stoples
kerajaan Wally. Kurobek kaus Tom menggunakan gunting rumput tua di
sana, lalu kutaburi
remah-remah makanan yang kini tercampur darahnya.
“Apa yang kau lakukan!?”, teriak
Tom.
Kuacuhkan dia dan membuka stoples
Wally. “Keluarlah Wally, dia milik kalian.”
Wally dan kawanannya
adalah Bullet
Ant.
Gigitan mereka akan terasa seperti tembakan
peluru seperti namanya.
Belum lagi rasa sakitnya agak awet. Mereka merayap ke perut dan
tubuh Tom secara acak.
Jeritan Tom membahana ketika Wally dan kawanannya menggigit
tubuhnya. Lalu aku
beralih pada Ken. Dia sedang mengatur napasnya yang terengah-engah
ketika menyadari
senyumanku. Aku mengambil Hopper dari stoplesnya. Belalang hijau satu
ini salah satu
kesayanganku. Kuletakkan dia dalam gelas yang kemudian kutangkupkan pada
telinga Ken. Perlahan
tapi pasti, Hopper masuk ke dalam rongga telinga Ken. Kemudian aku
mendengar Ken menjerit.
Itu tandanya Hopper mulai menggigit telinga bagian dalam Ken.
Aku menyeringai puas sambil mengelus
Creep di bahuku. Untuk kali ini aku tak
keberatan dengan suara
berisik. Setelah aku puas melihat tubuh Tom yang hampir hancur dan
Ken yang hampir
kehilangan kesadarannya, aku sadar kalau ini sudah sampai pada puncaknya.
Sekarang adalah giliran
Tyler dan Creep. Keduanya merupakan favoritku. Eh, tunggu. Apa itu?
Merilynn? Bagaimana bisa
kalajengking kecilku bisa sampai sini? Pantas saja Tom tetap
menjerit bahkan setelah Wally
dan kawanannya kembali padaku. Kubiarkan saja kalajengking
Androctonus Australis kecilku bersenang senang.
Aku beralih dulu pada Ken.
Jeritannya tetap keras meski aku tahu kesadarannya
dipertaruhkan. Darah
segar mengalir melalui lubang telinganya. Rupanya Hopper sudah cukup
dalam. Kubiarkan dia
berkolaborasi dengan Tyler. Tarantula manisku tentu akan senang oleh
aliran darah dari
telinga Ken. Dan benar saja, dia langsung melompat dan memulai kegiatannya. Ken memang
terlihat menggiurkan dengan darah-darah ditubuhnya itu.
Saat aku kembali pada Tom, Merilynn
sudah mulai naik hingga betisnya. Menyengat
dan mencapit sehingga
kulit dan dagingnya sobek cukup besar. Darah dan daging itu terlihat
mengiurkan bagi Creep
karena dia mulai mengitari leherku dengan tak sabar. Dia menanyakan
bagiannya. Creep itu
adalah kelabang raksasa. Ada juga yang menyebutnya lipan. Aku
mengangguk kecil. Dengan
cepat dia merayap ke arah Tom. Mengelilingi tubuh hancur Tom
dengan kaki-kaki
lentiknya. Merayap pelan sambil sesekali menggigiti daging segar yang
tersaji untuknya. Creep
terus merayap hingga sampai di kepala Tom. Dia mempermainkan Tom
dengan memasuki rongga
mulutnya. Cairan bening mengalir dari sudut matanya saat Creep
bergerak-gerak dalam
mulutnya. Kaki-kaki lentik dan antenanya menyembul keluar dari mulut
Tom.
Setelah berputar-putar Creep
akhirnya keluar dari mulut Tom. Darah segar keluar
bersamaan dengan
batuknya. Sepertinya Creep menggigiti mulut bagian dalam Tom. Sekarang
Creep mengitari kepala
Tom. Creep berhenti sebentar untuk memasuki rongga mata kanan
Tom yang kosong. Sebagai
penutup Creep memasuki lubang telinga Tom. Dia akan menggigiti
dalam telinga Tom untuk
mencapai otak. Jeritan Tom semakin menjadi-jadi. Lebih keras dari
sebelumnya.
Aku kembali melihat Ken yang sudah
amat sangat kacau. Hopper yang berlumuran
darah bertengger di
bahunya. Sepertinya dia sedang mencari udara segar. Aku mencabut pisau
yang menancap di
bahunya.
“Aaaarrgghhh!!!”
Ouch, itu pasti sakit. Lalu aku
melihat sesuatu yang bergerak-gerak di kaki dan bahu
Ken. Mataku berbinar.
“Waw... mereka akan menetas. Hei Buds, kau harus melihat ini.”,
Kataku sambil mengambil
stoples Buds agar dia bisa melihatnya. Sesuatu yang bergerak-gerak
itu akhirnya menampakkan
wujudnya. Telur-telur Buds yang memenuhi kaki dan bahu Ken
kini menetas.
Larva-larva Buds menyobek daging agar dapat keluar. Menciptakan lubanglubang
pada daging Ken. Nanah dan darah bercampur menjadi satu. Dapat kulihat Ken
menggeliat sangat liar.
Wajahnya terlihat jijik dengan lubang-lubang itu.
Aku tersenyum dan membereskan
stoples-stoples kesayanganku. Kutinggalkan gudang
tua itu sambil
bersenandung riang dengan stoples-stoples yang kubawa. Mika dan kawanannya
terbang pulang lebih
dulu.
***
Pagi-pagi orang-orang berkerumun di
dekat gudang tua itu. Ada garis polisi melintang
di sana. Tom dan Ken
ditemukan polisi dalam keadaan yang sangat mengerikan. Tom yang
sudah tak bernyawa
dengan cairan otak yang menetes melalui telinganya dan Ken yang penuh
dengan lubang-lubang dan
larva-larva yang menggeliat di tubuhnya. Tubuh mereka berdua
hampir tak berbentuk.
Tom dimakamkan. Ken menghabiskan sisa hidupnya di rumah sakit jiwa
akibat trauma berat.
Biodata Penulis
Kinanthi
Yuarsyanda KH,
lahir di ujung timur
pulau Madura,
tepatnya di Sumenep, 20 Februari
2005. Saat ini
tercatat sebagai pelajar kelas IX di
SMPN 1 Sumenep
dan tinggal bersama Abi dan
Bunda di desa
Banasare RT 007/RW 001,
Kecamatan Rubaru, Kabupaten Sumenep. Suka
menulis sejak
usia Sekolah Dasar, terutama menulis
cerpen.
Great
BalasHapus